Selasa, 25 Maret 2014

Dari Bangkok ke Chiang Rai


Awal tahun 2014 ini saya ingin masuk ke negara Myanmar lewat imigrasi Mai Sai dengan alternatif kalau tidak dapat masuk saya akan menuju Luang Prabhang di Laos lewat imigrasi Chiang Kong. Perjalanan tersebut saya awali dengan naik kereta api dari Bangkok menuju Chiang Mai.


Kereta api yang saya tumpangi merupakan kereta api express dengan nomor perjalanan 51 yang berangkat dari stasiun Hua Lamphong Bangkok jam 22.00. Saya tidak naik dari stasiun awal tetapi naik dari stasiun Don Mueang yang memiliki jadual keberangkatan jam 22.49. Don Mueang sendiri berjarak 22 Kilometer dari Hua Lamphong dan stasiun kereta apinya tepat didepan bandara DMK.


Karena saya harus menjaga kondisi badan, maka saya membeli  tiket untuk kelas 2 dengan fasilitas kipas angin seharga THB 423,- dengan harapan bisa tidur nyenyak. Sesungguhnya gerbong kereta kelas 2 ini lebih jelek dibanding dengan gerbong kereta Bisnis milik PT KAI, namun kebersihannya dan fasilitas penunjang lain masih lebih bagus. Apalagi kebetulan jendela kaca disamping saya tidak dapat ditutup dengan baik, sehingga terpaan angin dari luar cukup kencang. Jarak Bangkok – Chiang Mai diperkirakan 751 Kilometer dengan waktu tempuh 15 jam, meskipun dalam kenyataannya waktu tempuh berkembang menjadi 15,5 jam. Saya amati, penumpang satu gerbong dengan saya tidak ada orang lokal, semua backpacker dengan tas punggung besar-besar. Wajah lokal hanya saya sendiri, sehingga petugas kereta api selalu mengajak saya dengan berbahasa Thai. Mereka baru tersenyum saat saya katakan saya ini orang Indonesia, orang Jawa. Kata Jawa sangat familier dengan mereka karena sepanjang jalan ditanam asam Jawa pemberian mendiang Presiden Soekarno berpuluh tahun yang lalu. Bulan Maret ini ternyata merupakan musim kemarau, sehingga sepanjang perjalanan pemandangan yang terlihat adalah kekeringan lahan dengan kondisi lahan terbakar disana-sini.


Jam 13.05 yang dijadualkan, menjadi jam 13.30 saat kereta api express 51 masuk peron stasiun Chiang Mai. Toleransi yang cukup ketat untuk jarak tempuh 751 Kilometer, sebab meskipun namanya express, kereta api 51 cukup ramah tamah, banyak stasiun yang dihampiri sepanjang perjalanannya.

 Sebagai pendidik saya selalu tertarik dengan sekolahan. Sebuah sekolah unggulan di Chiang Mai yang saya temukan saat saya berjalan mencari penginapan.

Duduk 15,5 jam membuat kaki saya kaku, sehingga untuk mencari penginapan saya putuskan berjalan kaki sambil melihat apa saja yang diperbuat oleh masyarakat. Tujuan perjalanan saya adalah Night Market sesuai dengan peta yang saya unduh dari internet, dimana di komplek Night Market ini banyak bertebaran Hotel sampai Hostel. 


Kalau tidak mau berjalan kaki, maka didepan stasiun kereta api banyak Tuk-tuk yang bertarip THB 50,- yang akan menghantar kita sampai ke Night Market berhenti didepan restaurant Burger King. Setelah berjalan kira-kira 5 Kilometer, saya menemukan sebuah hostel  dengan tarip paling rendah THB 300,- sayangnya yang kosong tinggal yang bertarip THB 500,- 


Malam hari saya habiskan dengan berkeliaran di arena Night Market, sambil berpikir mengapa di Surabaya tidak bisa dilakukan kalau hanya seperti ini. Pengunjung asing mencapai 75%, kalau setengahnya saja berbelanja maka berapa uang segar yang beredar langsung dimasyarakat. 

 Rasanya bangga kalau ada Merah Putih....terus mikir....kalau cuma seperti ini kan Surabaya ya bisa.....

 
Hampir semua rumah makan penuh pengunjung, saya cuma melihat saja dengan angan-angan nanti membeli nasi goreng didepan hostel saja, murah, cukup THB 60,-
Dari internet, sebenarnya cukup banyak obyek yang dapat dikunjungi, namun saya harus secepatnya ke Chiang Rai supaya waktu yang saya miliki cukup efektip. Sebagai Backpacker tentu saja saya hanya mengandalkan angkutan umum, sehingga tidak mungkin saya berbuat se-enak saya, layaknya seorang Tourist.
 

Dari depan restoran Burger King saya naik Tuk-tuk ke Arcade Bus Terminal Station dengan tarip THB 50,-, jarak terminal bus dengan Night Market lebih jauh dari pada menuju stasiun kereta api. Sayangnya saya tidak sempat melakukan observasi lanjut, sehingga yang saya ketahui untuk ke Chiang Rai hanyalah naik Green Bus yang cukup mewah. Sebab di Chiang Mai, selain Arcade Terminal juga ada terminal bus yang lain, yaitu Chang Phuak Bus Station.



Tetapi karena informasi yang saya dapat, untuk ke Chiang Rai harus lewat Arcade, saya tidak sempat melihat terminal Chang Phuak yang informasinya hanya untuk bus-bus jarak pendek.
Untuk pemberangkatan bus jam 14.45 saya membayar tarip bus sebesar THB  288,- padahal saya antri membeli tiket masih jam 11.00. Banyak sekali orang yang bepergian ke Chiang Rai dari Chiang Mai ini. Green Bus yang saya tumpangi cukup mewah, disetiap kursi tempat duduk terdapat sebuah monitor LCD. Saat awal berangkat mendapatkan sebotol air dingin dan saat hendak turun mendapat pengusap keringat. Yang duduk disebelah saya bukan backpacker, melihat koper besar yang dibawa sepertinya seorang pengusaha, dari pembicaraan dia berasal dari San Francisco yang terbang ke Hongkong lalu ke Chiang Mai dan ke Chiang Rai naik Green Bus ini. Sebagian besar penumpang bus adalah penduduk lokal, hanya beberapa orang backpacker. Hal ini membuat saya curiga, pasti ada bus lain yang taripnya lebih murah, namun hanya bisa curiga saja sebab tidak ada yang dapat ditanya.


Terminal bus di Chiang Rai ada dua, Old Terminal dan New Terminal, yang masing-masing berjarak sekitar 5 Kilometer. Bus-bus jarak jauh, dari Bangkok umpamanya, masuk di New Terminal.  Sedangkan Green Bus dari Chiang Mai masuk di Old Terminal, Old Terminal sendiri berada di Night Market Chiang Rai dan disekitarnya cukup banyak Hostel.



Keluar dari OldTerminal lewati jalan didepannya menuju jalan besar dan silahkan pilih sendiri Hotel dan Hostel yang cukup banyak. Kalau sudah lebih dari jam 17.00, depan Old Terminal sudah penuh sesak dengan penjual, karena sudah berubah menjadi Night Market. 

 TownClock, jam yang setiap jam-nya nyanyi. Lho...gitu kok ya jadi icon kota Chiang Rai

Saya sendiri bermalam di City Home sebuah Backpackers Hostel dengan tarip THB 400,- semalam dan saya mengambil 2 malam. Kamar dengan fasilitas kipas angin dan kamar mandi bersama diluar kamar. Setelah beberapa hari berjalan di Thailand, baru kali ini saat Magribh saya mendengar bunyi bedug dipukul dengan irama seperti di mesjid dekat rumah saya di Simo Surabaya, cuma saya tidak mendengar suara Adzan dikumandangkan.

Pagi-pagi saya kembali menuju Old Termnal dan naik bus yang menuju Mai Sai, tarip bus Chiang Rai – Mae Sai THB 39,- Jangan lupa untuk membawa paspor, karena sebelum masuk kota Mae Sai terdapat dua buah pos tentara yang akan memeriksa lalu lintas orang antara Chiang Rai dan Mae Sai. 

 Pos penjagaan militer ditengah jalan sebelum masuk Mae Sai.

Menurut penjelasan yang saya dapat, pos ini digunakan untuk menangkal imigran gelap dari Myanmar. 



Bus yang saya tumpangi masuk terminal bus Mae Sai, disana sudah siap Tuk-tuk dengan tarip THB 15,- untuk mengantar kita ke perbatasan Myanmar. Perbatasan Thailand – Myanmar cukup ramai, pasar tradisional, pertokoan, hotel, hostel tersebar dibeberapa tempat.


Terdapat juga sebuah Pagoda yang berada di ketinggian, saya hanya melihat dari kejauhan saja. Informasi dari internet bahwa orang asing tidak dapat masuk Myanmar lewat jalan darat ternyata belum berubah. 


 Imigrasi Mae Sai, Thailand. Pintu gerbang ke Myanmar


Sungai pemisah negara Thailand dan Myanmar, hanya beberapa meter

Sebelah sana....itulah Myanmar


Orang asing akan ditahan paspornya dan diganti dengan tanda terima setelah membayar THB 500,- masih berlaku sampai saat ini. Akibatnya kita hanya dapat berkeliling didalam kota Taicheck saja dan jangan berharap sampai Yangoon atau kota yang lain di Myanmar. Bahkan di Myanmar sendiri terkenal adanya segitiga turis, yaitu kota-kota yang dapat di kunjungi oleh orang asing, selebihnya tidak boleh. Heran juga, kok masih ada negara anggota Asean yang seperti itu. Karena pertimbangan ekonomis maka saya memutuskan untuk tidak jadi masuk Myanmar, tidak punya stempel imigrasi Myanmar ya sudah, toh punya gambarnya.
Dengan Tuk-tuk yang warnanya sama dengan tarip yang sama THB 15,- saya kembali ke terminal bus, kebetulan bus yang saya tumpangi tadi pagi bersiap untuk kembali ke Chiang Rai dan ibu kondektur ingat dengan wajah saya jadi saya dipanggil dan dipersilahkan masuk kedalam bus. Taripnya tetap THB 39,-. Perjalanan pulang ke Chiang Rai, bus dihentikan di pos pemeriksaan. Pemeriksaan kali ini cukup teliti, paspor saya dibolak-balik sambil mencocokan foto dan wajah saya dan hasilnya ada satu penumpang yang dipaksa turun. Kata bu kondektur, orang itu tidak dapat menunjukkan KTP Thailand, bus melanjutkan perjalanan ke Chiang Rai tanpa menunggu penumpang yang diturunkan tadi.

Esok hari, akhirnya saya memutuskan untuk masuk Laos lewat Imigrasi Chiang Kong dan membatalkan impian jalan-jalan di Myanmar.Bus Chiang Rai – Chiang Kong taripnya THB 65,-. 
Bus Internasional dari New Terminal Chiang Rai ke Bokeo Laos

Ada juga bus internasional Chiang Rai – Bokeo yang berangkat dari New Terminal dengan tarip THB 225,- Bus ini dari Chiang Rai langsung menuju imigrasi Chiang Kong lalu menyeberangi Sungai Mekong masuk imigrasi Bokeo dan langsung menuju terminal bus Bokeo di Laos. Namun dari Old Terminal saya lihat tidak ada transportasi murah menuju New Terminal, tarip Tuk-tuk cukup mahal THB 50,-
Diatas bus, kita harus memberi tahu ibu kondektur kalau kita nanti tolong diturunkan di jalan menuju Border. Saat mendekati Chiang Kong terdapat tanda lalu lintas yang menunjukkan arah perbatasan Thailand – Laos, ibu kondektur akan memberitahu kita untuk turun.

Tuk-tuk yang siap menghantar kita dari pertigaan Chiang Kong ke Imigrasi Chiang Kong

Ditepi jalan sudah siap Tuk-tuk yang akan mengantar kita ke imigrasi Thailand dengan tarip THB 50,-. Cukup mahal untuk jarak 2 Kilometer. Namun karena jalan ini masih baru, maka pohon-pohon ditepi jalan masih rendah sehingga untuk jarak 2 Kilometer terasa jauh sekali. 
Apa boleh buat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar