Rabu, 30 November 2016

Wat Arun antara Wat dan Pasar oleh-oleh murah




Kalau saya harus bercerita masalah Wat Arun tentunya akan mengundang tawa, karena pengetahuan saya tentang Wat Arun sama sekali tidak ada. Umumnya hampir setiap Travel Biro di Bangkok akan membawa pengikutnya menuju Wat Arun setelah mengunjungi Wat Po atau Grand Palace. Sebagai Traveller untuk menuju Wat Arun setelah berada di Wat Po ( Budha Tidur) tidak sulit, Wat Arun berada diseberang Chao Praya dari sisi Wat Po.



Setelah keluar dari Wat Po, silahkan menyeberang jalan kemudian berjalan menembus kepadatan kerumunan orang dan penjaja makanan lalu menyusuri teras deretan toko yang menuju ke-arah pasar tradisionil.

 Menyusuri teras deretan toko yang mengarah ke bangunan Pasar tradisionil.

 Beberapa Traveller memang ragu kalau dibalik bangunan pasar tersebut adalah jalan menuju Wat Arun. Jangan ragu untuk masuk kedalam pasar, jalan didalam pasar saat ini berada diatas jembatan kayu, sehingga posisi penjual berada dibawah kita berjalan. Akibatnya palang-palang kayu yang ada diatas stand penjual menjadi sangat pendek, mungkin untuk ukuran tinggi tubuh kita tidak masalah. Namun untuk Traveller dari negara lain yang postur tubuhnya tinggi, jembatan kayu tersebut menjadi penghalang bagi mereka. Bertahun yang lalu sebelum banjir besar melanda Bangkok dan Chao Praya meluap menggenangi pasar, maka jalan melalui pasar ini tidak menggunakan jembatan seperti itu.

Masih tetap didalam bangunan pasar tetapi berada di-sisi tepi sungai, terdapat dermaga untuk kapal atau perahu penyeberangan. Istilah dermaga tempat merapatnya perahu penyeberangan disini dinamakan Pier dan Pier yang saya datangi ini adalah Pier nomor 8 dengan nama Pier Tha Tien.

Untuk menyeberang ongkos yang dipungut adalah THB. 3,50, naik 50 sen dibanding dengan tahun yang lalu. Murah dibanding dengan harus berenang menyeberangi sungai yang airnya berwarna gelap itu.

Situasi diatas kapal penyeberangan, 80% isinya orang asing. Kalau wajah saya Thailandnese

  
Merapat di-dermaga Wat Arun, hati-hati, jalannya gondal-gandul menakutkan. Kapal tidak merapat 100%, tapi masih ada jarak yang membuat saya harus melompat .... mind your step ... hehehe.

Saat ini Nopember 2016, Wat Arun dalam kondisi renovasi, bangunan utama kelihatan diperbaiki sehingga pengunjung masih belum di-ijinkan naik sampai atas.

 Diarah masuk pelataran Wat Arun saya melihat tulisan besar dengan gambar Sang Raja, sebuah ungkapan duka cita bagi mangkatnya Raja Thailand.

Pasar garmen yang dulu hanya diberi atap dengan kios-kios didalamnya sekarang mulai tertata rapi dengan dibangunnya stand-stand meskipun saat saya datang belum semua stand itu buka.

Mungkin ini adalah tempat sementara sebelum mereka menempati stand yang sudah dibangun, para penjual cindera mata.

Penjual buah, minuman ringan sampai kelapa muda bertebaran dihalaman Wat Arun yang mulai rindang oleh beberapa tumbuhan pohon yang berdaun lebat.


Sebuah sisi di Wat Arun yang meyisakan bangunan lama.

 Dibangunan dekat dermaga ini merupakan tempat penjaja garmen yang menerapkan harga paling murah diantara para penjaja yang ada. Bukan hanya garmen, tetapi juga souvenir yang lain, seperti gantungan kunci, piring berlogo Thailand dengan harga sedikit dibawah harga yang ada didalam stand yang berderet tadi. Dibangunan ini bukan hanya uang Bath (THB.) saja yang diterima, tetapi juga menerima uang Rupiah, Ringgit, SGD dan Dollar. Saya tidak tahu bagaimana nilai tukar atau kurs-nya. Tetapi dengan menerima uang selain THB, mereka mampu menarik hati para pengunjung asing.




Akhirnya, harus masuk ke-kapal dengan ongkos penyeberangan THB. 3,50 kembali ke Pier nomor 8 untuk selanjutnya menuju obyek lain sesuai itenary yang telah dibuat.

Selamat tinggal Wat Arun, 
bekalku sudah engkau ambil, 
dompetku sudah tidak gemuk lagi 
dan sebagai gantinya tanganku membawa tas kresek berisi kaos, baju dan souvenir lain yang nanti akan memadati bagasi pesawat terbang yang akan mengangkut saya kembali keTanah Air.


Selasa, 29 November 2016

King Bhumibol Adulyadej bagi rakyat Thailand sekilas pengamatan saya

Rencana untuk ikut menghadiri ICER 2016 bulan Nopember di Khon Kaen University sudah direncanakan berbulan jauh sebelum bulan Nopember untuk mendapatkan tiket pesawat Surabaya - Jakarta - Bangkok pergi-pulang dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Tentu saja menjadi sebuah kejutan ketika bulan Oktober ada berita duka dari Negeri Gajah Putih tersebut.
Raja Thailand, Bhumibol Adulyadej, meninggal dunia, hari Kamis (13/10/2016), pada usia 88 tahun, setelah sakit dalam beberapa tahun terakhir. Dan tulisan saya ini adalah opini pribadi saat saya melihat sendiri situasi dilingkungan istana Royal Palace di Bangkok
.

Turun dari pesawat saat saya mendarat di Bandara Dong Mueang setelah terbang 3 jam 20 menit dari Jakarta, keluar dari pintu Custom masuk keruang kedatangan sudah disambut dengan layar monitor besar dengan tulisan memorial bagi Sang Raja.

Demikian juga diberbagai pusat perbelanjaan yang sedang, yang besar, yang mewah akan dijumpai tulisan-tulisan besar untuk mengenang Sang Raja.

Tidak lupa di lingkungan kampus KKU, Kwanmore Building tempat untuk sementara saya akan tinggal.

Diruang kerja perkantoran, saya melihat didalam ruang Perpustakaan COLA.

Di ruang besar didepan bangunan COLA saya melihat lukisan yang bagus menggambarkan saat Raja masih muda dalam pakaian kebesaran raja. Dalam pikiran saya, ini merupakan visualisasi perasaan mereka kepada Raja-nya.

Lingkungan Grand Palace tempat jenasah raja disemayamkan ditutup, sehingga jalan melingkar disekeliling istana menjadi sepi dari kendaraan bermotor yang biasa berlalu-lalang.


 Hanya ada satu jalan untuk akses masuk lingkungan istana dengan menyeberangi sungai kecil yang jembatannya dibagi menjadi dua lajur. Satu untuk warga Thailand dan satu untuk warga asing, yang untuk masuk harus menunjukkan paspor-nya.

Mayoritas atau dapat dikatakan hampir semua penduduk Thailand mengenakan pakaian serba hitam serta sedikit yang mengenakan pakaian putih dengan bagian bawah hitam.
Sebelum ke Thailand, saya sudah membaca seruan darai TAT (Otoritas Pariwisata Thailand) yang sebagian bunyinya adalah sebagai berikut:
The Tourism Authority of Thailand (TAT) would like to advise the following:
• Most Thai people will be dressed in black or white clothing as a display of the reverence to our king and as part of Thai culture, but this is not mandatory, especially for visitors.
• Polite and respectable behavior and attire would be highly appreciated. If tourists would like to take part in showing respect to our king, they can pin black ribbons on their clothes. The ribbons will be available at the immigration counter at Suvarnabhumi Airport or from many spots in the country
.
Sebagai pendatang saya juga menghormati mereka dengan memakai pita hitam yang saya sematkan dilengan kiri saya.

Untuk membantu pengunjung, karena lingkar istana bukan merupakan jalan yang pendek, maka disediakan kereta  komuter pergi-pulang yang berjalan mulai dari jembatan akses masuk tadi sampai dekat jalan yang menuju Wat Po (Budha Tidur). Saya kagum dengan mental yang terbentuk dikalangan rakyat Thailand, yaitu mental untuk antri mendapatkan fasilitas. Mereka dengan tertib antri untuk naik odong-odong (heheheheheh...), tidak ada yang berebut. Jadinya, saya yang suka main serobot, malu juga.....dan ikut antri.

Tidak ada pembatasan bagi wisatawan untuk berkunjung, asal nurut aturan, meskipun negara dan rakyat sedang berkabung.

Sebagian Mahasiswa S-2 Unesa, selesai melakukan Oral Presentasi ICER di KKU, juga memerlukan untuk berkunjung ke Grand Palace.

 Saya bisa merasakan perasaan para mahasiswa ini, gembira, paling tidak ada satu tugas berat yang sudah dilewati. Yaitu tugas untuk ikut seminar internasional, yang kalau diselenggarakan di Tanah Air, belum tentu mereka mendapatkan giliran.


Bapak Dekan FIP-Unesa yang low profile, ikut menghantar para mahasiswanya. Dilengan baju kami, masing-masing tersemat pita berwarna hitam kecuali bapak Dekan yang sudah memakai kaos dan celana berwarna hitam.



Saya melihat diluar pagar istana dan didekat pagar istana, rakyat dengan pakaian hitam berbondong menuju ke istana. Sebagian tetap duduk dan bergerombol disekeliling istana.


Mereka datang dengan membawa konsumsi pribadi dan kelompok. Saya melihat dari sekian banyak wajah yang ada, tidak ada gurauan, meskipun senyum dan wajah cerah tetap menghias para petugas dalam mengarahkan para turis yang datang. Tingkah laku rakyat Thailand menghadapi kematian raja-nya ditunjukkan dengan rasa setia, duduk atau bergerombol disekeliling istana.

Pita kain putih dan hitam, membentang sepanjang jalan disekeliling pagar istana.




Para relawan menerima pemberian rakyat, yang berupa bunga kelihatannya langsung dirangkai dan dibawa masuk, saya tidak tahu dibawa kemana.....


Bahan berupa makanan, saya melihat ada pisang, hasil bumi lain (seperti uwi) langsung dibersihkan dan segera disiapkan untuk dimasak.





Akhirnya makanan yang telah selesai melewati proses pemasakan, dibagikan kepada mereka yang mungkin saja tidak membawa bekal. Termasuk saya ikut antri untuk mendapatkan satu tempat terbuat dari palstic foam.


Pisang goreng dan mungkin seperti bentul goreng ......
Saya tidak bisa menilai, seperti inikah kecintaan rakyat kepada pemimpinnya .... namun perasaan saya mengatakan "iya" .... tidak berbeda dengan kecintaan rakyat Jogyakarta kepada Raja-nya.

Salam saya .... Erlizar Martiwi Hatmi