Sabtu, 25 Januari 2020

Jangan Jadi Tourist - Jadilah Traveler: Gokteik Viaduct (Bag 1)

Dari Google: Jembatan Goteik yang juga dikenal sebagai jembatan Gohteik adalah jembatan kereta api di Nawnghkio, Negara Bagian Shan bagian barat, Myanmar. Jembatan itu berada di antara dua kota Pyin Oo Lwin, ibukota musim panas mantan administrator kolonial Inggris di Burma, dan Lashio, kota utama Negara Bagian Shan bagian utara. Dibangun mulai 28 April 1899 dan digunakan pada tahun 1 Januari 1900.
Untuk lengkapnya, silahkan cari sendiri di Youtube atau Google ......hehehe.... ini adalah salah satu obyek penting untuk dilihat menurut ukuran seorang Traveler.
Cerita saya ini saya bagi menjadi 3 bagian ......


Begitu sampai di bandara Yangon, saya berusaha menghemat waktu dengan langsung menuju Terminal Bus untuk mencari bus jurusan Yangon - Lasio.


Terminal bus cukup besar dengan berbagai fasilitas namun saya lihat sepi. Setiap bus yang masuk, menurunkan penumpang, lalu pergi dan terminal sepi lagi. Saya tidak melihat adanya bus yang berangkat dari terminal ini. Mungkin sesuai dengan namanya "Arrival"


Ternyata setiap bus berangkat dari agennya masing-masing, enaknya, agen bus itu berada didalam komplek terminal bus. Sehingga kita tinggal milih, bus mana yang hendak kita tumpangi. Saya memilih bus yang berangkat agak sore, tidak terlalu malam, dengan harapan sampai ke kota tujuan masih pagi. Sebab tujuan saya adalah sebuah kota kecil 800 Km dari Yangon. Tentu saja bus yang saya pilih adalah bus dengan tarip paling murah, bukan jenis sleeper bus tapi cukup bus dengan tempat duduk yang ada AC-nya. Situasi didepan agen bus sama saja dengan di Surabaya, ada penjaja makanan, penjaja buah-buahan.

Layaknya bus patas di tempat kita, mereka juga berhenti di sebuah komplek rumah makan dan hiburan untuk memberi kesempatan bagi penumpang, makan malam, bagi yang belum makan. Saya memilih jalan-jalan melihat lokasi tempat berhentinya bus. Sayang saya tidak tahu, sebab tulisan disetiap rumah makan tidak ada yang saya mengerti.

Menjelang pagi, bus berhenti lagi. kali ini bukan berhenti di komplek rumah makan mewah, tetapi sebuah warung besar. Sementara itu udara di luar sudah sangat dingin, karena sudah berada dilingkungan pegunungan Myanmar bagian Utara. Saat turun penumpang diberi tisue pembersih dan gosok gigi plus pastagiginya. saya heran, baru kali ini naik bus diberi sikat gigi. Ternyata disisi warung itu ada tempat air yang panjang dan sudah ada banyak orang yang menyikat giginya.

 Di warung ini saya menemukan makanan tradisional kita yang terbuat dari ketan ...RENGGINANG

Tidak seperti di desa-desa tempat kita, dimana orang memasak dengan menggunakan LPG. Disini orang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Lumayan untuk ikut memanaskan badan dari suhu udara yang sangat dingin.

 Bus melanjutkan perjalanan dan hari masih pagi ketika Pengemudi bus menghentikan busnya dan menunjuk saya untuk segera turun. Kelihatannya, sayalah satu-satunya penumpang bus yang harus turun di tempat ini. Turun dari bus pertama kali mata saya membaca petunjuk arah yang tidak saya mengerti maksudnya dan sebuah bangunan sepi yang kelihatannya seperti hotel. Ditepi jalan berderet truk-truk super besar yang belum pernah saya lihat dijalanan Surabaya.

Berbekal peta,saya berjalan menyusuri jalan desa ini, beberapa warung ada yang sudah buka, tetapi mayoritas masih tutup. Ketemu penjual keperluan masak seperti di tempat saya, Simopomahan.

Kemudian bertemu masjid, gereja dan sebuah sekolah.




Setelah melihat warung besar memasak dengan menggunakan kayu bakar, saya melewati sebuah sumur seperti sumur saya di desa. Sumur dengan menggunakan katrol dan timba untuk mengambil air.
Bangunan rumah penduduk dari kayu, namun saya melihat ada sedikit sentuhan modern, yaitu sebuah antene parabola untuk menangkap siaran TV Satelit terpasang ditepi atapnya.

Akhirnya yang saya tuju mulai kelihatan, sebuah bangunan stasiun kereta api.


lanjut ke Bagian 2, Klik disini

Rabu, 22 Januari 2020

Jangan Jadi Tourist - Jadilah Traveler : Backpacker

Ternyata ajakan saya untuk tidak menjadi Tourist tapi menjadi Traveler, cukup mendapat banyak "perlawanan". Sebagian besar beralasan bahwa berwisata merupakan cara untuk ber-rekreasi, melepas stress setelah didera kepenatan kerja, mencari pemandangan baru yang dapat membuat segar dalam pemikiran ..... dan sebagainya. Sehingga untuk semua itu ya seharusnyalah dilakukan dengan enak tidak perlu bersusah payah.

Kelihatannya disinilah letak perbedaan yang mendasar. Menjadi Traveler, melakukan perjalanan bukanlah perjalanan wisata. Perjalanan yang dilakukan merupakan misi yang muncul dari dalam hati untuk melihat dan memahami apa yang ingin dikunjungi.
Rencana perjalanan yang dibuat tidak asal-asalan, saya selalu membuat rencana perjalanan sampai tiga lapis untuk mengantisipasi andaikata terjadi sesuatu yang berada diluar rencana.
Tiket penerbangan umumnya sudah saya pesan paling cepat empat bulan sebelum hari H. kadang ada juga yang sudah saya beli setahun atau sepuluh bulan sebelumnya. Waktu yang berjalan digunakan untuk mengumpulkan bekal dan mencari berbagai kemudahan yang ada di tempat tujuan. Sehingga saya selalu marah kalau ada yang mengatakan bahwa Backpacker adalah Wisatawan Bondo Nekat.
Tidak jarang saya berangkat dari 
bandara yang bukan Surabaya.
Bisa saja saya berangkat dari Jogyakarta, semata-mata karena
harga tiket dari Jogya ke tempat tu-
juan jauh lebih murah dibanding
harus berangkat dari Surabaya.
Sementara Surabaya - Jogya saya
bisa naik bus umum.
Menjadi backpacker harus benar-benar menghitung budget. Jangan-
kan berselisih Rp. 100.000,-, ber-
selisih Rp 25.000,- pun akan saya
perhitungkan. Backpacker memang
pelit, tetapi memang harus demikian.







Termasuk masalah tidur, di luar negeri budget untuk tidur tidak lebih besar dari $ 10,-
Dan itu adalah kelas Hostel yang kadang kamar mandi-nya adalah kamar mandi bersama yang letaknya agak berjauhan dengan kamar tidur.
Hostel umunya menyediakan air panas, sehingga tidak lupa, kemana-mana saya selalu membawa kopi atau teh yang gampang disedu untuk minum pagi hari.









Bisa juga tidur di kursi bandara


Urusan makan, hehehehehe......
kuliner kelas bawah....














Tidak perlu malu ....















Atau beli bungkusan dan dimakan dalam perjalanan.














Termasuk memanfaatkan yang gratisan..... hehehehe















Mencari informasi sendiri.














Selalu membaca peta supaya tidak tersesat, kalau memang tersesat toh ya jangan jauh-jauh amat lah....













Karena perhitungan budget yang ketat, maka Backpacker harus selektif dalam memilih obyek yang pantas untuk dikunjungi.
Kalau terlalu mahal dalam ukuran kantong dan urgensinya rendah, maka cukuplah "Photo Stop" saja.
Mejeng didepannya dan..... jepret..
kalau ditanya orang... "Sudah pernah
mengunjungi Legoland ?"
Jawaban saya pasti...."Sudah"
Kalau ditanya masalah apa yang ada
didalamnya....ya tersenyum saja.




Sementara para Tourist setelah mengunjungi obyek wisata naik keatas bus untuk melanjutkan perjalanan, maka saya juga melanjutkan perjalanan menuju halte pemberhentian bus umum dengan jalan kaki....

















Ber-hujan-hujan atau ber-panas-panas dalam perjalanan merupakan kebahagian lahir batin.....





 Mengunjungi tempat-tempat yang jarang dijangkau oleh para Travel Biro.


Jalan ke pasar tradisional melihat sayur yang dijual, ternyata sama dengan yang ada di pasar Simo.

Ternyata ada juga penambal ban sepeda motor bocor.


Pohon yang telah ber-usia ratusan tahun
Menikmati bangunan-bangunan bersejarah yang terkadang ada hubungannya dengan  kerajaan-kerajaan di Jawa.








Menyeberangi perbatasan antar negara di-tempat-tempat yang terpencil. Dimana bangunan imigrasinya hanya berupa kantor sederhana.


 


Melewati "No Man Land" dengan berjalan kaki untuk sampai kekantor imigrasi negara berikutnya.

River Kwae Bridge,....kisah kelam masa penjajahan Jepang dimana saudara-saudara kita diangkut ke Siam dan Birma sebagai pekerja rodi oleh penjajah Jepang untuk membangun jalan kereta api yang menembus bukit batu antara Siam dan Birma. Dari prasasti yang ada di lapangan, jembatan dengan konstruksi melengkung ini berasal dari P. Jawa

Lokomotif yang digunakan Jepang saat itu. Antara Nong Pladuk di Thailand sampai Thanbyuzayat di Myanmar sejauh 415 Km. Saat ini ada di pelataran stasiun Kanchanaburi Thailand.

Mencari artefak diantara rel yang ada, siapa tahu bisa menemukan rel kereta yang diangkut Jepang dari P. Jawa.

Sebagai kenangan, titip salam untuk teman-temanku di Vietnam. 
SELAMAT  HARI  RAYA  TAHUN  BARU  TET
25 FEBRUARI 2020