Medio Nopember 2012 saya berjalan sendiri untuk memenuhi keinginan saya mengunjungi salah satu kemegahan masa lalu…….Angkor Wat di Siem Reap Kamboja.
Bagian 3
Ulah pengemudi transportasi umum menuju Siem Reap dari Terminal bus internasional Poipet semuanya sama, baik itu bus besar, bus mini dan taxi. Semuanya menurunkan penumpang tidak diterminal yang seperti tertera di peta kota Siem Reap. Mereka berbagi hasil pendapatan dengan pengemudi ojek motor dan tuk-tuk yang cukup banyak di kota Siem Reap. Para pengemudi ojek dan tuk-tuk ini sudah tahu tempat-tempat pemberhentian tidak resmi kendaraan transportasi yang datang dari Poipet. Akibatnya saya harus mengeluarkan USD 3,- untuk ongkos tuk-tuk dari pemberhentian akhir bus menuju kesebuah hotel ditengah kota Siem Reap.
Pada pengemudi tuk-tuk saya hanya berpesan, “cheap hotel, please”.
“OK sir……” dan sipengemudi dengan tangkas mengemudikan tuk-tuknya menembus kegelapan malam menuju sebuah hotel yang namanya cukup menggelikan, Hotel No Problem. Hotel dengan fasilitas kamar yang bisa diatur sesuai dengan kehendak penyewa. Saya minta fasilitas kipas angin, TV dan Wifi serta air dingin untuk mandi, sewa permalam cukup murah USD 10,-.
Esok pagi setelah mandi saya ingin jalan-jalan lebih dahulu untuk mengenal Siem Reap, ternyata hotel yang saya tempati berada dilingkungan yang cukup menyenangkan. Hotel dekat dengan pasar sore tempat wisatawan berkumpul mulai dari mencari souvenir, makan dan klab malam. Termasuk saya saat berjalan lewat juga ditawari perempuan dari berbagai macam suku bangsa. Saya jadi heran, apa memang wajah saya termasuk yang dinamakan wajah hidung belang?
Dijalanan ini tersebar hotel-hotel murah kelas USD 10,- bahkan ada yang menawarkan USD 8,- semalam dengan fasilitas Wifi. Diperempatan jalan saya mendekati sebuah SPBU, harga bahan bakar cukup mahal disini, perliter sekitar USD 1,5 bandingkan dengan negara kita yang kurang dari USD 0,5. Saya pernah melihat disebuah SPBU di Surabaya sebuah mobil sekelas Alphard dan Fortuner tidak malu untuk mengisi BBM subsidi. Semoga itu hanya ulah sebagian kecil sopir pribadi untuk mencari tambahan penghasilan dan bukan ulah pemilik asli mobil yang ada dinegara kita.
Perekonomian kota Siem Reap dalam pengamatan saya cukup bagus, toko-toko besar bertebaran dimana-mana, sayangnya cuma ada satu rumah makan yang menyediakan ayam goreng sang Kolonel, KFC. Saya mencoba sarapan pagi di rumah makan ini dengan menu USD 2,-
Tidak seperti di KFC negara kita, maka di Kamboja, sendok dan garpu merupakan peralatan makan standar. Minuman dingin tidak ada yang gelas kecil, semua ukuran jumbo termasuk potongan ayamnya.
Kembali saya menyusuri jalan besar yang cukup lengang, kiri kanan jalan berdiri hotel-hotel kelas bintang yang cukup megah.
Sebuah sungai kecil mengalir ditengah kota, cukup membuat saya iri hati. Sungai kecil yang terawat baik dan tidak ada kotoran diatasnya.
Saya menemukan sebuah sekolah, melihat ukuran siswanya saya dapat memastikan kalau sekolah itu setara dengan SMP di negara kita.
Beberapa orang tua duduk diatas sepeda motor menunggu didepan pagar sekolah.
Beberapa orang tua duduk diatas sepeda motor menunggu didepan pagar sekolah.
Taman kota cukup luas untuk sekedar duduk istirahat, saya tidak melihat anak-anak bermain seperti di kota-kota di Indonesia.
Sungai yang bersih membelah kota Siem Reap, saya melihat masih ada orang yang memancing dan menjala ikan disepanjang sungai. Berderet ditepi sungai terdapat tempat duduk yang dibuat dari beton. Cukup bersih dan enak dipakai sebagai tempat duduk, bebas dari vandalisme, tidak ada coretan dari cat semprot dengan kata-kata yang mengganggu. Dari tepi sungai ini saya mencoba melihat lebih jauh tata kehidupan yang sebenarnya dari kehidupan kota Siem Reap yang penuh dengan hotel-hotel besar.
Saya menemukan sebuah jembatan yang nyaris tidak terawat, ditandai dengan cat yang sudah mengelupas, namun merupakan urat nadi transportasi lokal yang menghubungkan jalan satu dengan jalan yang lain. Yang saya belum mampu berpikir banyak adalah adanya sebuah kotak kecil ditepi jembatan dipasang pada sebuah tiang dan kotak itu merupakan sebuah switch network dengan beberapa kabel coaxial ditancapkan diluarnya.
Tukang radiator mangkal ditepi jalan, seperti yang saya lihat, tidak ada mobil jelek berkeliaran dikota Siem Reap. Apa ya mungkin radiatornya bocor lalu direparasikan di pinggir jalan? Namun itulah yang saya lihat.
Tukang radiator mangkal ditepi jalan, seperti yang saya lihat, tidak ada mobil jelek berkeliaran dikota Siem Reap. Apa ya mungkin radiatornya bocor lalu direparasikan di pinggir jalan? Namun itulah yang saya lihat.
Tempat tambal ban sekaligus menjual BBM yang ditaruh didalam botol bekas botol minuman keras, sama dengan penjual BBM eceran di Surabaya, banyak saya lihat di tepi jalan. Saya sempat mengambil gambar saat anak perempuan kecil menuangkan BBM kesebuah sepeda motor. Yang saya heran, botol tempat BBM eceran di Kamboja, di Vietnam, di Laos dan di negara kita kok sama, belajarnya dimana?
Sambil berjalan saya berusaha mencari masjid, namun belum menemukan. Tempat ibadah agama Budha tersebar cukup banyak, bersih dan mewah dengan cat menyolok dominan kuning emas.
Akhirnya saya menemukan sebuah gereja Katholik disebelah pertigaan jalan, sepi dan tidak terawat dengan kesan terbengkalai belum selesai dibangun.
Didepan gereja saya melihat iklan sebuah perguruan tinggi yang mengiklankan SPP-nya. Saya tidak tahu arti tulisannya, tapi kalau menyangkut uang pasti itu SPP.
Kehidupan IT terutama internet kelihatannya sudah merupakan kebutuhan di kota ini, saya tidak tahu apakah itu kebutuhan untuk pendatang asing atau kebutuhan untuk rakyat setempat. Yang jelas internet dihotel seharga USD 10,- seperti yang saya tempati memiliki kecepatan yang cukup lumayan, dengan Wifi terpasang merk TP Link buatan Cina seperti yang banyak digunakan di Indonesia. Tidak ada firewall berlebihan yang dibuat oleh pemerintah setempat seperti waktu saya ada di Vietnam. Saat didalam hotel saya dapat akses semua jejaring sosial dengan lancar, bahkan upload gambar sangat lancar dan memakan waktu pendek.
Dibebeberapa tempat ditepi jalan saat saya berjalan kembali pulang ke hotel, saya jumpai penjual berteriak-teriak mengiklankan sim card sebuah provider yang memberikan sambungan 4G. Sebuah fasilitas sambungan internet broadband lewat gelombang radio yang belum sampai kenegara kita. Atau para ISP dinegara kita masih malu-malu kucing, karena adanya berbagai regulasi, seperti kasus Indosat dengan IM2-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar