Saya membaca dari Wikitravel sebuah artikel sebagai berikut: “Hoi An, once known as Faifo, with more than 2,000 years
history, was the principal port of the Cham Kingdom, which controlled the
strategic spice trade with Indonesia from
the 7th to the 10th century and was a major international port in the 16th and
17th centuries - and the foreign influences are discernible to this day…..” dan dari
Wikipedia saya baca artikel: “It
is recognized as a World Heritage Site by UNESCO. Hoi An
Ancient Town is an exceptionally well-preserved example of a South-East Asian
trading port dating from the 15th to the 19th century”
Tertarik dengan kata
Indonesia serta adanya informasi yang saya terima bahwa Hoi An merupakan sebuah
kota kecil di Vietnam yang terbebas dari Perang Vietnam. Maka Hoi An merupakan
sebuah kota kecil yang harus saya kunjungi saat saya berkelana menyusuri Vietnam dari Saigon sampai Hanoi. Saya membayangkan
bagaimana saat abad ke 7, Hoi An sudah merupakan sebuah bandar internasional.
Pedagang rempah-rempah dari Indonesia sudah sampai disana, entah dagangan apa
yang diperdagangkan saat itu. Termasuk juga didalam sejarah yang mengkisahkan
tentang Putri Champa.
Cerita yang saya sampaikan ini
adalah salah satu cara yang murah untuk menjangkau Hoi An, meskipun cara yang
lain juga cukup banyak. Namun berjalan sambil mendekatkan diri dengan kehidupan
penduduk setempat adalah moto saya yang harus saya pertahankan selama saya
melakukan travelling.
Dengan
menggunakan kereta api yang cukup baik, yaitu SE 2 yang melayani trayek Saigon
– Hanoi saya berangkat dari Ga Saigon pukul 19.00.
Tiket Kereta Api seharga 573.000,- Dong
.
Sedangkan Da Nang sudah mendekati
daerah sub tropis, suhu udara sudah bisa turun dibawah 20 derajad Celcius dan
hujan selalu turun meskipun rintik-rintik. Didepan stasiun, ada pertigaan
jalan, ditikungan sebelah kanan jalan ada rumah makan, saya minta Pho panas
semangkuk, lumayan sejak kemarin belum makan.
Setelah badan hangat saya berjalan
lurus dari stasiun setelah melewati warung tadi ada perempatan jalan besar,
belok kekiri dan berjalan terus agak jauh lewat beberapa persimpangan sampai
diseberang kanan jalan terpancang tanda Bus Stop Da Nang – Hoi An.
Menyeberang jalan harus hati-hati,
pengendara sepeda motor sama dengan di Surabaya dan jangan lupa sisi jalan yang
digunakan adalah sisi kanan, sebab kemudi mobil berada disisi kiri.
Bus kota Da Nang – Hoi An muatannya
campur aduk, mulai para Traveller sampai bakul dan ibu-ibu yang baru pulang
belanja dari pasar. Wajah saya yang serupa dengan mereka membuat saya menjadi
susah, karena selalu diajak bicara dalam bahasa lokal. Ibu kondektur terus
menghujani saya dengan pertanyaan yang tidak mungkin saya jawab. Bagaimana bisa
menjawab, lha yang ditanyakan saya tidak tahu. Namun akhirnya dia tertawa dan
mengusir seorang anak muda dari tempat duduknya yang kemudian diberikan ke
saya. Ini berkah dari usia saya yang sudah tua dan rambut yang putih tapi masih
senang kluyuran. Sampai Hoi An hujan belum berhenti, di terminal bus tidak ada
tempat untuk berteduh sementara warung-warung sudah tutup mungkin karena hari
sudah sore. Dari terminal bus berjalan kearah jalan besar (arah datangnya bus)
kemudian belok kiri menyusuri jalan yang sepi tapi lebar. Ada hotel besar
dikanan jalan, saya lihat ini bukan hotel untuk kelas saya, kalau saya tidur
disitu salah-salah habis uang saya.
Jadi saya terus berjalan sehingga
menemukan deretan beberapa hotel kecil yang taripnya USD 15,-, saya pilih salah
satu yang menurut saya menarik.
Petunjuk
jalan ke lokasi Kota Lama
Tepian sungai
yang indah
Kursi besi
yang usianya sudah se-abad lebih
Japanese
Bridge yang menjadi ikon
Hiasan
Lampion Hari Raya Tet, indah mengias rumah-rumah penduduk
Pasar Di Hoi
An
Mau pilih
sepatu?
atau beli
sayur Pare, tomat....
daun pandan,
salam, kunyit, pisang.....
Barangkali
mau reparasi jam tangan, jam tembok
atau beli
kurungan burung, jepretan tikus....juga ada.
Tidak berbeda
dengan pasar di Jombang, Mojokerto atau di Wonokromo