Sabtu, 10 September 2022

Menapakkan Kaki di Usia Senja Berharap Bersua Sahabat - Episode 3 - Tempat Kejadian Perkara

Bagi sebagian orang, berkumpul kembali setelah berpisah berpuluh tahun adalah sebuah kebahagiaan, tertawa bersama mengenang masa lalu. Banyak kisah-kisah antar sahabat diunggah dimedia sosial yang berjanji akan bertemu kembali disebuah tempat setelah sekian banyak tahun tidak berkumpul, Tidak sedikit bagi mereka-mereka saat berkumpul kembali merupakan ajang untuk pamer kesuksesan hidup. Sehingga ada sebagian orang yang tidak mau hadir hanya karena dia merasa kalau hidupnya tidak sukses seperti teman lainnya.  
 
 
Lepas Magribh waktu Solo, semua yang hadir berbondong menuju lantai dimana perhelatan re-uni 2022 ini akan diselenggarakan.

Karena masih dalam bulan kemerdekaan, Agustus, maka nuansa merah putih ditekankan kepada setiap yang hadir. namun tentu saja tidak mengikat dan harus, apalagi disertai penalti .......

Pembagian masker merah putih kepada para peserta dilakukan dibagian penerima tamu yang sebenarnya juga tamu. Mas Sulhan yang dipercaya sebagai Ketua Seksi Sibuk selalu siap dan setiap saat memberi briefing saat olah TKP.   

Absen dulu ....absen dulu ..... saya juga tidak tahu mengapa mbakyu Lien dan mbakyu Giok Piet disetiap re-uni selalu duduk berdua dimeja terima tamu.

Sekedar kilas balik:

Jadi Penerima tamu tahun 2017 ( masih belia ....)

Penerima tamu ditahun 2018 ( masih remaja ....)

Sebelum acara dimulai, makan malam dulu ..... volume makanan melimpah ruah ... hati-hati sudah sepuh jangan terlalu bersemangat....comot sana-sini nanti ekornya sakit didalam kamar.

Hehehehehe....untungnya menu yang dihidangkan bersahabat dengan usia yang hadir, tapi untuk saya, kata mas Sulhan, ....not for Omponger friendly .... cilakak.

Ibu Host, mbakyu Juni bersama mas Ketua diinterupsi mbakyu Menuk, suasana merah ...tapi ingat lho bukan karena di Solo lalu merah diartikan dengan salah satu kontestan politik ... bukan,,, merah is our flag.

Terharu juga saya melihat teman putri yang didampingi putranya, naik mobil dari Jakarta untuk dapat hadir diantara teman -teman lama. mBak Niniek masih menggunakan kursi roda karena betisnya belum sembuh dari dilepas arterinya untuk operasi bypass jantung.

Iyaaakkk....beberapa wartawan tanpa koran melakukan wawancara pribadi...heheheheh

Supaya makan malam netral dulu dicerna perut, maka nyanyi dulu .... hymne pinisepuh.....

Supaya perhelatan ini di=rachmati Allah, maka seperti biasa, mas Yakoep ditunjuk untuk memanjatkan doa kehadirat Allah yang Maha Kuasa.

Pak Ketua Panitya memberikan Sekapur Sirih sementara saya tidak tahu itu mbakyu Piet sedang apa.

Meskipun bukan pejabat setingkat Eselon 1, tetapi mbakyu Juni adalah Hoster, jadi ya harus memberikan ucapan selamat datang ... mohon maaf dan sebangsanya yang umum sudah bisa diramal urutan pidatonya.... hahahahaha....

Akhirnya mas Songko, Pak Lurah Paguyuban "seumur hidup" memberikan wejangan yang harus didengar oleh se-antero rahayatnya.

Ini mungkin nyanyi, ya ... lha dua-duanya pegang kertas... kan tidak mungkin kalau itu kertas naskah Proklamasi atau kertas SK Pensiun....



Betul kan, ....nyanyi ....paling nyanyinya itu ya yang ringan-ringan ...sebangsa dengan nyanyian Potong bebek angsa .....


Crita sana crita sini ... wis pokoke gayeng bin seneng




Mendekati akhir acara, semua turun bersama melantai dengan alunan musik sambil nyanyi .....

Hehehehehe ...... to be continued . Episode lanjut saya akan bercerita tentang masalah ...Bakat-bakat terpendam yang ada dikalangan bekas siswa SMPN 1 Jombang ini.

Daaaaaggggg ( lha turunan Belanda...)

Kamis, 08 September 2022

Menapakkan Kaki di Usia Senja Berharap Bersua Sahabat - Episode 2 - Menjelang berkumpul



Bagi sebagian orang, berkumpul kembali setelah berpisah berpuluh tahun adalah sebuah kebahagiaan, tertawa bersama mengenang masa lalu. Banyak kisah-kisah antar sahabat diunggah dimedia sosial yang berjanji akan bertemu kembali disebuah tempat setelah sekian banyak tahun tidak berkumpul, Tidak sedikit bagi mereka-mereka saat berkumpul kembali merupakan ajang untuk pamer kesuksesan hidup. Sehingga ada sebagian orang yang tidak mau hadir hanya karena dia merasa kalau hidupnya tidak sukses seperti teman lainnya.

Belum baca cerita saya yang episode 1 ? Silahkan Klik disini

Meskipun sudah lewat siang hari dan cenderung mendekati sore hari, namun saya merasa masih banyak waktu untuk menikmati kota Solo dengan angkutan kotanya. Turun dari bus antar kota saya masuk kedalam terminal sekedar ingin tahu perubahan yang ada setelah sekian tahun saya tidak singgah disini.

Komentar saya cuma satu,…. luar biasa ….. perubahan terminal Tirtonadi ini. Sekedar nostalgia, berpuluh tahun yang lalu hampir selama satu semester saya selalu duduk manis di terminal ini saat pagi hari menjelang Subuh. Dari Surabaya saya berangkat ke Solo sekitar jam 23.30. Sampai Tirtonadi saya kekamar kecil, cuci muka dan lain sebagainya untuk menunggu pagi naik bus Rajawali jurusan Semarang. Karena saya harus memberi tutorial pembelajaran kadang di PLN Boyolali, kadang di Gardu Induk Sutet PLN di Ungaran. Ada pengalaman lucu waktu terkantuk-kantuk selesai dari kamar kecil dan masih harus menungguy bus Rajawali masuk shelter. Saya didekati seorang laki-laki sambil berkata:”Mas, mari saya antar ke hotel sebelah, banyak pilihan, masih baru-baru.” Saya berpikir, apapula maksud orang ini, setelah telat mikir beberapa saat, saya baru “ngeh” maksudnya. Saya jawab:”Maaf dik, saya tidak punya uang”. Sambil melihat saya laki-laki itu pergi menjauh …… ampuuun.

Ada juga pengalaman lain saat memberi tutorial di Departemen Metrologi, kebetulan ada pegawai yang baru saja menerima “besluit”dari Sinuwun Raja Surakarta, Yang bersangkutan diangkat menjadi Abdi Dalem dan diberi gelar Raden. Bercerita pada saya sebelum sesi tutorial dimulai, salah satunya adalah asal mula Tengkleng. Saya jadi maklum dan mengerti apa dan bagaimana sebenarnya makanan Tengkleng itu. Berbeda jauh dengan Tengkleng-Tengkleng yang banyak dijual. Wahhhh kok jadi nglantur… 
Masuk kedalam terminal, bersih tapi sepi, beberapa Petugas berada diposnya masing-masing. Saya melihat ada gerbang yang menuju jembatan penghubung ke stasiun kereta api Solo Balapan. Jadi penumpang KA kalau mau ganti naik bus tidak perlu naik becak, cukup jalan kaki menuju Tirtonadi, demikian pula sebaliknya.

Berbekal informasi dari internet saya bergegas mencari pemberhentian bus Batik koridor 6, karena saya mau ke Solo Baru. Seorang laki-laki menghampiri dan menanyakan tujuan saya, Saya jawab mau ke Solo Baru ingin naik bus Batrik. Info dari sang lelaki itu cukup mengejutkan, katanya tidak ada itu Batik Koridor 6, pakai taxi saya saja. Lah ini dia, perjuangan dimulai, dengan mengatakan bahwa saya tetap akan naik bus Batik …… Ora ono mbah, bus Batik nyang Solo Baru iku ora ono, wis ta percaya……
Lha wong di Myanmar saja saya tidak kesasar, mosok di Solo mau kesasar.  
 
Kalau sudah biasa, turun dari bus antar kota mau ke shelter bus Batik bisa jalan seperti ibu-ibu itu, asal tidak ketahuan Satpam.
 

Setelah berhasil menemukan jalan keluar dan bebas dari provokasi pengemudi taxi saya sampai di Shelter Batik.


Bus Batik, bus ukuran sedang siap mengangkut penumpang dengan tujuan sesuai Koridor.

 

Bus dengan berbagai kombinasi cantik yang menyegarkan pandangan.

Ini dia yang membuat saya hampir jatuh terpelesat karena terkejut, sebuah Angkot maju dan berhenti di Shelter. Bukan sembarang Angkot tetapi Angkot dengan cat batik, Angkot dalam armada angkutan Batik. Lama saya ternganga melihat pemandangan ini. Inovasi transportasi apa yang sedang dijalankan oleh Pak Wali bersama Ka Dinas Perhubungannya. Saya jadi ingat bagaimana Angkot di Jombang jadi kolaps karena sepeda motor yang boleh diangsur pembeliannya. Dulu orang menunggu Angkot, sekarang Angkot mencari penumpang. Kondisi serupa terjadi juga di Surabaya. Mungkin dengan cara seperti di Solo ini, pengemudi Angkot mendapatkan penghasilan meskipun Angkotnya kosong asal berjalan sesuai koridor. Saya berharap ada kesempatan lagi ke Solo untuk sekedar omong-omong dengan mereka.......

Akhirnya bus Batik Koridor 6 warna biru jurusan Tirtonadi - Solo Baru menghampiri Shelter.

Dipintu masuk, diatas dashboard ada perangkat "Taping" eMoney. Saya melakukan taping dengan karti Brizi .... ngik.... berarti sukses akses dan saya masuk bus yang dingin dan duduk dibelakang.

Dalam perjalanan saya mengamati setiap penumpang yang masuk, ternyata tidak semua melakuikan "taping", nyelonong masuk dan duduk. Mas Pengemudi juga tidak menegur atau memberi peringatan apa-apa. Lhoooo huenak tenan.........hehehehehe.(dalam kesempatan kemudian, saya baru tahu kalau emoney saya tidak berkurang saldonya, Maturnuwun Pak Wali...maturnuwun sanget.)


Turun bus lewat tangga sederhana, tidak seperti yang saya lihat ditempat saya, ada shelter mewah tapi bis-nya tidak ada.

Hati-hati, tapi kelihatannya stabil, kok.

Kadang juga bertemu dengan sekeluarga meskipun beda warna. Tentunya karena berbeda koridor.

Dalam perjalanan saya selalu mengamati Google Map, supaya tidak salah turun, dan kelihatannya memang saya harus turun di Halte Taman.

Ternyata saya adalah orang terakhir yang melakukan check in. Selamat sore sahabat-sahabatku.










Selasa, 06 September 2022

Menapakkan Kaki di Usia Senja Berharap Bersua Sahabat - Episode 1 Surabaya - Solo

Bagi sebagian orang, berkumpul kembali setelah berpisah berpuluh tahun adalah sebuah kebahagiaan, tertawa bersama mengenang masa lalu. Banyak kisah-kisah antar sahabat diunggah dimedia sosial yang berjanji akan bertemu kembali disebuah tempat setelah sekian banyak tahun tidak berkumpul, Tidak sedikit bagi mereka-mereka saat berkumpul kembali merupakan ajang untuk pamer kesuksesan hidup. Sehingga ada sebagian orang yang tidak mau hadir hanya karena dia merasa kalau hidupnya tidak sukses seperti teman lainnya.
 
Kami adalah sekelompok Kakek dan Nenek, yang ditahun 1961 sampai 1964 duduk sebagai siswa-siswi SMP Negeri 1 Jombang. Kala itu menjadi siswa SMPN 1 Normalan Jombang merupakan sebuah kebanggan. Apalagi setelah diresmikan seragam harian berupa atasan warna putih dipadu dengan bawahan warna hijau. Kombinasi seragam yang serasi bagi siswi namun sedikit aneh bagi siswa. Jumlah kelas untuk angkatan 1961 ada 4 kelas, kelas a, kelas b, kelas c dan kelas d. Saya sendiri duduk dikelas 1b, naik kekelas 2b dan berakhir dikelas 3b. Untuk teman yang lain ada juga yang kelasnya terus sama, tapi ada juga yang setiap naik kelas berada dikelas yang urutan abjadnya berbeda, Saya masih ingat, saat kelas 3b, kelas saya paling jelek dan dijuluki kelas sawah. Sedangkan yang paling bagus adalah kelas 3a, karena ruangannya dilingkungi jendela kaca.
Setelah vakum selama beberapa tahun karena pandemi Covid, tahun 2022 ini dicetuskan mas Sulhan saat berbincang online di WAG, re-uni diselenggarakan dikota Solo. Saya masih ingat beberapa bulan yang lalu, saya langsung merespon setuju yang kemudian diikuti teman-teman yang lain. Keinginan untuk menyelenggarakan re-uni di Solo ternyata didukung sepenuhnya oleh "Pak Lurah" Songko Purnomo, sehingga "rencana" berubah menjadi "akan dilaksanakan".Saya tidak tahu bagaimana mas Sulhan membuat rencana menjadi matang bersama mereka-mereka yang mau berkorban demi yang lain. mbakyu Juni sebagai Host, mbakyu Piet sebagai menteri keuangan dan beberapa teman yang lain. Sementara yang seperti saya cuma duduk manis dan tepuk tangan sambil mengatakan ...setuju....bagus....hehehehe.... Akhirnya muncul tanggal keramat 23 Agustus sampai 24 Agustus 2022, cukup lama antara diumumkan dan D-Day sementara biaya yang harus dipikul bersama masih dimasukkan oven microwave biar cepat masak.
Horeeeee.... serasa bumi pelan berputar akhirnya tanggal yang dinanti tiba, berbagai cara dilakukan teman-teman untuk datang ke kota Solo,

Mbakyu Lien bersama mas Iwan berkendara mobil dari Jakarta datang ke Solo lebih awal, sehingga dapat bertemu lebih dahulu dengan Tuan Rumah Re-Uni, sebelum melanjutkan perjalanan ke Surabaya lebih dahulu untuk menjemput "yang punya uang" mbakyu Piet.
 
Hari Senin tanggal 22 mas Sulhan  lebih awal juga ke Solo menggunakan kereta api berangkat dari Jakarta.
 
 
Mas Songko, mas Darto, mas Yakoep, mbakyu Titik dan mbakyu Djuwariah menggunakan kereta api juga. Masing-masing berangkat dari Jakarta, Bandung dan Jombang. 
 
Kontingen Jombang sedang menunggu kereta api Sancaka pagi di peron stasiun Jombang. Sementara kalau saya tidak salah, cak Sigit bersama isteri juga naik kereta api Sancaka dari stasiun Surabaya Gubeng yang sedang ditunggu ini. Semoga mereka bisa bertemu dan mengadakan re-uni kecil awal diatas kereta api yang meluncur menuju Solo Balapan.....

Mas Pranowo bersama mas Soemarno berangkat dari Malang dengan mobil pribadi. Demikian juga dengan mbakyu Niniek didampingi putranya menggunakan mobil pribadi berangkat dari Jakarta. 
 

Mbakyu Piet dari Surabaya dijemput mbakyu Lien menggunakan mobil yang dibawa dari Jakarta setelah transit di Solo dan kembali ke Solo hari Senin tanggal 22 Agustus. Sedangkan mbakyu Menuk dan mbakyu Winarsih masing-masing dari Surabaya juga, tetapi saya tidak tahu, kendaraan apa yang mereka gunakan.
Saya sendiri menggunakan momen ini untuk melampiaskan keinginan saya jalan-jalan dengan naik bus umum ekonomi yang murah ( Rp. 59.000,-) dan meriah karena ada bonus melihat-lihat pemandangan jalan dan kota yang dilewati. Terakhir saya backpacking bulan Januari 2020 ke Chu Chi Vietnam, setelah itu off line takut kemnana-mana.
Dari rumah menggunakan sepeda motor, jarak antara rumah saya dengan Terminal Bus Purabaya cukup jauh. Sehingga kalau naik taxi, salah-salah tarip taxi lebih mahal dari pada harga tiket bus ke Solo. Penitipan sepeda motor di area terminal maupun disekeliling terminal cukup banyak dan aman terlindungi dari cuaca panas atau hujan. Untuk penitipan mobil, saya tidak menyarankan, karena lokasi parkir mobil tidak ada yang menggunakan perlindungan terhadap cuaca. Bagi teman Backpacker yang naik bus menuju Surabaya dan terlalu malam saat tiba di Surabayam jangan kawatir. Ruang tunggu terminal cukup representatip untuk beristirahat bagi Backpacker. Penginapan sederhana juga tersedia diluar area terminal, dengan tarif yang amat murah.
 

Saya memilih bus yang bertahun lalu selalu saya tumpangi kemanapun saya pergi. Bertahun yang lalu hampir setiap hari Rabu saya memberi tutorial di Gardu Induk Listrik Ungaran selalu naik bus ini dari Surabaya ke Solo sebelum ganti bus Solo - Semarang. Banyak orang yang apriori dengan bis ini, sebab meskipun sudah dirubah namanya, ranking kecelakaan jalan masih dipegang kejuaraannya. Saya berangkat pagi dengan harapan tengah hari sudah sampai Terminal Tirtonadi Solo.

Jam 07.30 bis yang saya tumpangi mulai bergerak berangkat meninggalkan Terminal Purabaya. Tidak seperti biasanya, bus tidak terlalu penuh, satu kursi disebelah saya masih kosong.

Ternyata tidak seperti tahun-tahun lalu, bus yang saya tumpangi konstan berada dalam kecepatan normal/ Setelah dua jam, bus baru lewat depan stasiun Jombang.

Senangnya naik bus seperti ini adalah, secara bergilir selalu naik dan turun para pengamen jalanan. Lagu-lagu yang dibawakan ada yang cukup merdu tetapi kebanyakan cuma sekedar buka mulut untuk mendapatkan uang dari penumpang bus. Yang melakukan bisnis tarik suara ini ada yang hanya tepuk tangan, ada yang membawa gitar kecil dengan senar cuma 3, ada juga yang komplit semacam oschestra jalanan. Wanita baju kuning diatas menjajakan suaranya dengan menggunakan konsep karaoke tanpa gambar.

Penjual makanan dan minuman full service  diantar sampai tempat dengan harga melawan juga cukup banyak. Bahkan bisa terjadi jumlah vendor dengan penumpang bus lebih banyak yang berjualan. Seperti kata para cendekia, rejeki tidak akan salah alamat. Namun kalau kondisinya seperti itu, rejeki bisa bingung milih yang akan dihinggapi.

Lewat kota-kota antara Surabaya sampai Solo, saya kok jadi heran dengan para pemangku kebijakan dikota-kota yang saya lewati. Untuk apa jalan yang dilewati bus harus berputar-putar sehingga membuat perjalanan bus jadi panjang dan menghabiskan waktu. Tidak jarang bus harus lewat jalan sempit yang panjang dan berliku. Sebagai contoh saat lewat kota Sragen, bus berjalan pelan karena jalan yang sempit dan banyak belokan. Belum lagi dibeberapa tempat bus diharuskan mampir di terminal yang kosong dan sepi hanya sekedar untuk membayar restribusi.

Menarik sekali perjalanan saya ini setelah selama 2 tahun duduk manis di Surabaya. Akhirnya setelah selama 7 jam cuci mata lewat kaca jendela, bus yang saya tumpangi sudah masuk Palur. Berarti sebentar lagi saya akan sampai akhir perjalanan ,,,,Terminal Tirtonadi.